Softskill
LISSA DWI
WULANSARI
19211468
4EA27
Dosen : Eka
Patriya
Kasus yang berhubungan dengan ringkasan etika dan bisnis
Mogoknya hampir
seluruh pekerja PT Freeport Indonesia (FI) tersebut disebabkan perbedaan indeks
standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada operasional Freeport di
seluruh dunia. Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih
rendah daripada pekerja Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama.
Gaji sekarang per jam USD 1,5–USD 3. Padahal, bandingan gaji di negara lain
mencapai USD 15–USD 35 per jam. Sejauh ini, perundingannya masih menemui jalan
buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak tuntutan pekerja, entah apa dasar
pertimbangannya.
Biaya CSR kepada
sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa karena
tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua membayar
lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya
habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak
akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan
dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah
terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006). Kestabilan siklus operasional
Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni
Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi
raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar
biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.
Sebagai perusahaan berlabel MNC (multinational company) yang otomatis berkelas
dunia, apalagi umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari
aset perusahaan. Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu keharusan.
Sebab, di situlah terjadi hubungan mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan
membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar produksi semakin baik, sementara
pekerja membutuhkan komitmen manajemen dalam hal pemberian gaji yang layak.
Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia terbukti
tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif yang
sangat mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI,
privilege berlebihan, ternyata sia-sia.
Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PT FI diperpanjang kendati
bertentangan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan dan sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Alasan
yang dikemukakan hanya klasik, untuk menambah kocek negara. Padahal, tidak
terbukti secara signifikan sumbangan PT FI benar-benar untuk negara. Kalimat
yang lebih tepat, sebetulnya, sumbangan Freeport untuk negara Amerika, bukan
Indonesia.
Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PT FI berizin penambangan
tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan konon
uranium. Bahan-bahan itu dibawa langsung ke luar negeri dan tidak mengalami
pengolahan untuk meningkatkan value di Indonesia. Ironisnya, PT FI bahkan tidak
listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi Freeport-McMoran sebagai
induknya.
Keuntungan berlipat justru didapatkan oleh PT FI dengan hanya sedikit
memberikan pajak PNBP kepada Indonesia atau sekadar PPh badan dan pekerja lokal
serta beberapa tenaga kerja asing (TKA). Optimis penulis, karena PT FI memiliki
pesawat dan lapangan terbang sendiri, jumlah pasti TKA itu tidak akan bisa
diketahui oleh pihak imigrasi.
www.Gunadarma.ac.id
www.Gunadarma.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar